Ansonia Spinulifer
atau lebih dikenal dengan bangkong puru berduri memiliki nama yang
bermacam-macam. Nama yang berasal dari bahasa Inggris Kina Balu Stream
Toad (Frank & Ramus, 1995). Nama ini hanya merupakan nama
tambahan agar lebih memasyarakatkan dan memudahkan dalam mengingat
spesies ini, sedangkan penggunaan nama dalam bahasa latin sudah diakui
oleh para ahli taxonomi untuk memberikan nama bagi setiap individu
berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan.
Berbagai pendapat para ahli mengenai nama latin dari bangkong puru berduri mulai dari Ansonia Spinulifer, (Boulenger 1894), Rana Spinulifer (Mucguard,1890) dan Ansonia Spinulifera (Inger & Dring,1988). Dari ketiga nama diatas yang umum digunakan adalah Ansonia Spinulifer. Klasifikasi dari Ansonia Spinulifer adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Amphibia
Subclass : Lissamphibia
Superorder : Salientia
Orde : Anura
Family : Bufonidae
Genus : Ansonia
Species : Ansonia spinulifer
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Amphibia
Subclass : Lissamphibia
Superorder : Salientia
Orde : Anura
Family : Bufonidae
Genus : Ansonia
Species : Ansonia spinulifer
(Inger, 1966)
Ciri-ciri Morfologi Ansonia Spinulifer
Semua
anggota dari genus Ansonia dikenal dengan bangkong atau katak yang
memiliki postur tubuh yang ramping. Salah satunya adalah Ansonia spinulifer
atau dengan nama daerah yaitu bangkong puru berduri. Jenis katak ini
bentuk tubuhnya kecil dan ramping, namun memiliki ukuran tubuh dan
kaki-kaki yang relatife panjang. Pada kenyataannya, terdapat perbedaan
yang nyata antara Ansonia spinulifer dewasa yang jantan dan betina,
dimana katak dewasa betina memiliki ukuran tubuh yang lebih panjang jika
dibandingkan dengan katak dewasa jantan. Menurut Inger,R.F &
Robert,B.S (1997) diperoleh data bahwa Ansonia spinulifer betina panjang tubuhnya mencapai 40 – 45 mm, sedangkan yang jantan panjang tubuhnya hanya 30 – 40 mm.
Ciri-ciri
morfologi lain dari katak ini adalah mempunyai kepalanya yang kecil dan
moncong yang ramping serta mancung. Lebar dari moncong itu sendiri sama
dengan jarak antara kedua mata. Di daerah sekitar kepala terdapat
canthus rostralis dengan ujung yang menonjol, tanpa ada penonjolan
lainnya. Selain itu, diantara hidung dan mata terdapat daerah loreal
(berupa sisik-sisik) yang bentuknya vertical, Adanya daerah interorbital
di sekitar mata dimana lebarnya hampir dua kali lipat dari lebar
kelopak mata atas, serta mempunyai tympanum yang nayta dan berukuran
setengah dari diameter mata (Kampen,P.N.V, 1923).
Tungkai bagian depan Ansonia spinulifer
sedikit lebih pendek dari tungkai bagian belakang. Dimana ujung jari
dari tungkai depan dan tungkai belakang bentuknya membulat, lembek dan
tidak berselaput (Inger,R.f & Robert,B.S, 1997). Hanya bagian dasar
dari jari kaki saja yang mempunyai selaput (Kampen,P.N.V, 1923). Keadaan
ini merupakan contoh dari adaptasi atau penyesuaian dari bentuk anggota
tubuh dengan lingkungan tempat tinggalnya. Katak ini lebih menyukai
daerah-daerah yang kering untuk habitatnya sehingga ia tidak memiliki
selaput sepanjang jari kakinya (hanya pada bagian dasar jari kaki yang
berselaput). Walaupun demikian, katak ini juga tidak mungkin
meninggalkan air karena sudah menjadi cirinya sebagai hewan peralihan
(tidak bisa lepas dari air). Jari kakinya tidak mempunyai tonjolan
subarticular, yang ada hanya tonjolan yang besar, berbentuk oval dan
pipih serta sebuah tonjolan kecil dibagian luar metatarsal. Tumit
sejajar dengan daerah diantara mata dan tepi moncong (Kampen,P.N.V,
1923)
Ansonia spinulifer
jantan dan betina sama-sama memiliki tekstur kulit yang kasar.
Keseluruhan bagian punggung ditutupi oleh tonjolan-tonjolan yang besar
dan berbentuk seperti kutil yang berduri (Anonim). Bagian atas tubuh
dengan tonjolan ‘spinosa’ yang besar dan tidak seragam diberbagai
tempat, kadang-kadang membentuk pola atau 4 garis longitudinal. Tonjolan
lateral bergabung dengan dua lapisan tipis dorsolateral. Sedangkan
tubuh bawah memiliki granula (Kampen,P.N.V, 1923). Pada daerah bahu,
kulitnya hanya berupa sisik-sisik kecil (Iskandar,D.T, 2003). Katak ini
tidak mempunyai kelenjar parotoid seperti anggota dari genus Ansonia
yang lainnya. Pertahanan diri hanya dengan mengandalkan lompatan yang
cepat dan gesit. Semakin cepat gerakannya maka katak ini akan terbebas
dari ancaman / musuh yang ada dihadapannya. Dengan tekstur kulit yang
kasar maka tidak salah orang menyebut Ansonia spinulifer sebagai bangkong puru berduri.
Tubuh
dan bagian atas kepala pada katak ini berwarna hitam / gelap dengan
bercak-bercak yang berwarna kekuning-kuningan. Tubuh bagian atas dengan
bercak-bercak berbentuk oval yang tidak beraturan dan tonjolan berwarna
pink di bagian belakang. Di antara daerah bahu terdapat sisik-sisik
kecil yang berwarna putih. Bagian sisi-sisi tubuh dengan corak yang
berwana cerah, sedangkan bagian bawah tubuh atau permukaan perut
berwarna gelap dengan bintik-bintik yang kecil berwarna cream atau
berupa bintik-bintik marmer hitam yang jelas. Tungkai dengan beberapa
bercak merah terang atau garis sempit yang tipis (Anonim)
Berdasarkan ciri-ciri morfologi di atas, dapat dilihat bahwa Ansonia spinulifer
merupakan salah satu jenis katak yang memiliki ukuran tubuh yang kecil
dan ramping. Hal ini merupakan wujud dari penyesuaian diri dari Ansonia
spinulifer terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga terbentuk
karakteristik khas yang membedakannya dengan jenis katak yang lain.
Perbedaannya dengan jenis katak lain dapat dilihat dari adanya selaput
dari jari kaki, ukuran tubuh dan tekstur kulitnya.
Ordo Anura memiliki jumlah spesies sebanyak 2600 spesies yang diantaranya termasuk dalam famil Bufonidae.
Ordo ini meliputi kodok dan bangkong yang dari segi morfologi keduanya
memiliki perbedaan yang jelas, dimana istilah kodok digunakan untuk
katak berkulit mulus yang menyukai tempat-tempat yang dekat denngan air,
sedangkan bangkong merupakan katak yang memiliki tekstur kulit yang
kasar atau berbintil-bintil dan lebih senang hidup dihabitat yang
kering. Disamping itui, bangkong juga memiliki keistimewaan lain yaitu
dapat mengenal habitatnya, walaupun menempuh perjalanan yang jauh.
Bangkong hanya digunakan untuk menunjukkan anggota dari famil Bufonidae (Uitgeverij,W & Hoeve, 1989 ).
Famili Bufonidae
terdiri dari 17 genus yang terdapat hampir diseluruh dunia, kecuali di
Madagascar dan Australia. Ciri utama dari genus ini adalah dari struktur
anatominya yaitu dikedua belah garis tengah lingkaran bahunya saling
tumpang tindih pada bagian perutnya dan ruas-ruas tulang belakang yang
procoelous yaitu bagian ruas tulang belakang yang berbentuk cekung pada
bagian depannya (Uitgeverij,W & Hoeve, 1989). Salah satu genus dari family ini adalah Ansonia spinulifer yang
merupakan hewan endemik dengan daerah penyebaran / distribusi yang
sangat terbatas yaitu hanya ditemukan di pegunungan Meratus, Kepulauan
Kalimantan sebanyak 12 spesies (Inger,R.F & Robert,B.S, 1997).
Dari data-data diatas dapat diketahu bahwa genus Ansonia merupakan
genus yang sangat jarang ditemukan dan diteliti oleh para ilmuan karena
jumlahnya yang semakin sulit ditemukan dan mengalami kepunahan akibat
kondisi alam yang semakin memburuk, seperti terjadinya kebakaran hutan.
Reproduksi
Proses reproduksi pada Ansonia spinulifer
hampir sama dengan cara reproduksi katak yang lain (Family Bufonidae).
Perkembangbiakan dengan bertelur, dimana pembuahan terjadi diluar tubuh
yaitu di dalam air dengan tujuan untuk menghindari dari kekeringan.
Proses ini diawali dengan kemampuan dari bangkong jantan untuk menarik
perhatian dari bangkong betina dengan bunyi panggilannya. Bangkong
jantan akan memeluk bangkong betina erat-erat sambil berenang sampai
yang betina menemukan rumput air. Setelah itu bangkong betina
mengeluarkan untaian telurnya maka bangkong jantan menyemprotkan
spermanya (Uitgeverij,W & Hoeve, 1989).
Kira-kira 12 hari setelah proses reproduksi, berudu akan menetas (Uitgeverij,W & Hoeve, 1989). Berudu dari Ansonia spinulifer
berwarna hitam atau gelap dengan panjang sampai 20 mm. Kebiasaan dari
berudu-berudu ini adalah berlindung di batu-batu yang besar dan
mendapatkan makanan dari ganggang (Algae) yang menempel pada batu
tersebut. Perkembangan dari berudu menjadi dewasa memerlukan waktu yang
lama dan sangat tergantung pada kondisi lingkungan. Perubahan bentuk
dari berudu menjadi katak dewasa disebut dengan proses metabolisme.
Habitat dan Penyebaran (Distribusi)
Ansonia spinulifer
dewasa banyak ditemukan di semak belukar, di bawah rumpun-rumpun bambu
dan di balik batu-batu besar di suatu aliran air yang jernih dan
terdapat di hutan primer pegunungan meratus (kawasan hutan hujan tropis)
dengan ketinggian dibawah 700 meter dari permukaan laut (Anonim). Dari
data diatas dapat disimpulkan bahwa Ansonia spinulifer
merupakan salah satu jenis bangkong yang banyak hidup atau menyukai
tempat-tempat yang kering (jauh dari air) untuk dijadikan habitatnya,
khususnya di pegunungan meratus hutan hujan tropis. Akan tetapi bangkong
ini akan tetap memerlukan daerah-daerah yang berair untuk beberapa
periode, seperti pada musim berbiak dan selama proses perkembangbiakan.
Daerah penyebaran dari Ansonia spinulifer sangat
terbatas karena hewan ini merupakan salah satu hewan endemik di dataran
rendah Kalimantan. Lokasi penyebarannya terutama di pegunungan meratus
Kalimantan Selatan dan sebagian ada di Serawak yaitu di gunung gading
(Anonim). Selain di kawasan Kalimantan tidak ditemukan lagi adanya jenis
bangkong ini karena hewan ini memiliki karakteristik yang khas untuk
daerah tempat tinggalnya. Berdasarkan sempitnya daerah penyebarannya,
sekarang ini populasi dari Ansonia spinulifer sangat
jarang ditemukan lagi, faktor utama kepunahannya adalah karena banyaknya
kerusakan alam / lingkungan akibat bencana alam atau aktifitas manusia.
Kenyataan ini terlihat dari kurangnya informasi mengenai jenis bangkong
ini.
referensi
http://syariffauzi.wordpress.com/tag/hewan-endemik-kalsel/